watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

BELADA ISTRI KESEPIAN

Dikampungku aku biasa dipanggil Billy. Maklum
postur tubuh yang tinggi besar dan wajah mirip
londo membuat orang kampung
mengidentikanku dengan turunan londo.
Sejak umur 15 tahun, aku dianggap orang
kampungku sebagai anak yang punya kelebihan
supranatural. Tak heran sejak umur segitu aku
sering bergelut dengan hal yang sifatnya mistis,
meskipun sebenarnya aku sendiri tak yakin aku
bisa. Misalnya aku sering dimintai tolong
sembuhkan orang kampung yang sakit perut,
sakit bisul, muntah-muntah, atau sakit ringan
lainnya. Dan entah kenapa tiap obat yang aku
anjurkan pada mereka kok kebetulan
menyembuhkan penyakitnya.
Sekarang ini usiaku 24 tahun, sedang kuliah di
kota M dan tetap saja banyak yang percaya aku
mampu dalam hal supranatural. Dikota M aku
juga terkenal bisa menyembuhkan banyak
penyakit, malah urusan seks yang dingin atau
tak kunjung dapat momongan bisa langsung
kontak aku di kota itu.
Suatu siang sehabis kuliah, aku kedatangan
pasien wanita Susi namanya. Susi ini tahu
alamatku diantar Retno, teman sekampusku
yang dulu pernah kutolong waktu sakit malaria
kronis dan sembuh.
“Tolong saya Mas Billy, suami saya kok suka
jajan di luar dan nggak perhatian lagi sama
keluarga,” kata wanita beranak satu itu padaku.
Sebenarnya aku bingung juga mau bilang apa,
tapi karena dia memelas begitu aku jadi nggak
tega. Susi aku suruh masuk kamar praktekku,
sedangkan Retno tunggu diruang tamu rumah
kontrakanku.
“Begini Mbak Susi, untuk menolong orang saya
harus tahu ukuran baju, celana dan sepatu orang
itu. Jadi berapa ukuran Mbak,” kataku setelah
kami duduk berhadapan dihalangi meja kerjaku.
Susi yang bertubuh agak pendek tapi seksi itu
jadi bingung dengan pertanyaanku.
“Ehmm, anu Mas, berapa ya ukurannya.. tapi
baju M celana 28 dan sepatu 37 mungkin pas
Mas,” jawabnya masih bingung juga.
“Oke-oke kalau nggak tahu pasti biar tak ukurkan
ya,” kataku sambil mengambil penggaris ukur
dari kain.
Seperti penjahit baju yang terima pesanan aku
mulai mengukur bagian tubuh Susi mulai bahu,
dada, perut, pinggang, pinggul, plus kaki.
“Nah sekarang sudah ada ukuran pastinya, saya
bisa bantu masalah Mbak,” kataku, yang
kelihatan membuat Susi berbinar karena merasa
akan tertolong.
Susi pun mulai menceritakan perilaku Anto,
suaminya. Sejak menikah dan punya anak, Anto
masih setia, tapi beberapa bulan ini Anto mulai
suka keluyuran dan suka jajan pada wanita lain.
“Saya jadi bingung Mas, kalo saya marah dia
malah ancam mau cerai. Saya takut kalau dicerai
Mas, bagaimana nasib anak saya,” keluh wanita
berkulit sawo matang itu.
“Ya sudah, itu masalah sepele kok Mbak. Nanti
Mbak saya kasih susuk pemikat sukma supaya
suaminya nempel terus kayak perangko,”
ucapku sekenanya. Kemudian aku menyuruh
Susi menanggalkan seluruh pakaiannya
termasuk pakaian dalamnya dan hanya
menggunakan sarung bermotif kembang yang
telah kusediakan untuknya.
Meski sempat ragu tapi Susi melakukannya juga.
Sementara aku menyiapkan berbagai
perlengkapanku, mulai kembang dan air dalam
baskom, serta jarum susuk yang memang
sudah lengkap tersedia di ruang praktekku.
“Nah sekarang Mbak berbaring di dipan itu ya,
dan jangan banyak bergerak. Pokoknya
konsentrasi pikiran pada suami Mbak dan sebut
terus namanya,” perintahku pada Susi. Bagai
dicocok hidung Susi menurut saja dan segera
berbaring di dipan dengan mata terpejam.
Untuk sesaat aku memperhatikan tubuh Susi dari
kursi praktekku. Wow, boleh juga tubuhnya,
bahenol walau agak mini. Aku menyiapkan
kembang dalam baskom berisi air dan
mendekati Susi yang terbaring di dipan kayu.
“Sabar ya Mbak, sebentar lagi kita mulai
pengobatannya,” kataku meyakinkan Susi.
Susi masih terpejam ketika kucipratkan air dan
kembang yang kusiapkan tadi ke sekujur
tubuhnya. Sengaja aku merapalkan mantra yang
tak jelas dengan mulut komat-kamit persis
dukun sungguhan.
Lalu setangkai kembang ditanganku kuusap-
usapkan di wajah Susi dengan irama usapan
yang searah jarum jam. Kulihat reaksi diwajah
Susi menahan geli ketika kembang itu mulai
kuusapkan di bagian leher dan terus turun
kepangkal dadanya yang terbungkus sarung.
“Nah sekarang buka matanya Mbak,” perintahku.
“Sudah selesai belum Mas Billy?,” tanyanya tetap
terbaring di dipan.
“Oh ya belum toh. Bagaimana Mbak ini maunya
cepat, ini kan proses pasang susuk Mbak nggak
boleh buru-buru. Kalau nggak cocok bisa fatal
akibatnya,” ujarku sekenanya.
“Terus sekarang apalagi Mas?,” Susi makin
penasaran.
“Maaf Mbak ya, sekarang Mbak turunkan sarung
itu sebatas perut supaya saya bisa mendeteksi
aliran darah Mbak. Biar susuknya tepat
pasangnya gitu loh,” kataku. Susi sempat
melotot heran bercampur jengah, tetapi dia
nurut juga menurunkan sarung yang
membungkus tubuhnya sampai keperut dengan
wajah malu-malu. Wah, boleh juga payudara
wanita ini, kalau dikasih Bra kira-kira ukuran 36B
lah, lumayan masih padat walau sudah beranak
satu. Susi kembali terpejam, dan aku kembali
mengambil kembang dan mencipratkan airnya
ke arah buah dada dan perut Susi. Dengan
kembang yang sama aku usap-usapkan di
daerah dada dan perut Susi. Tubuh Susi
mengelinjang kegelian waktu usapanku mulai
menyentuh puting susunya.
“Oke.. boleh buka matanya Mbak,” kataku setelah
puas mengusap susu Susi dengan kembang.
“Wah, Mas kok lama sekali sih prosesnya,”
protes Susi, tapi tetap terbaring diranjang.
“Gimana ya jelaskannya Mbak, soalnya aliran
darah Mbak aneh sih. Ini saja masih perlu deteksi
lagi supaya ketahuan aliran darah aslinya. Tapi
kalau Mbak mau stop ya terserah, saya tak bisa
bantu lagi, gimana?,” balasku dengan mimik
serius.
“Iya deh saya pasrah, tapi sekarang apa lagi?,”
tanya Susi lagi.
“Maaf lagi ya Mbak, sekarang jalan satu-satunya
supaya aliran darah Mbak kelihatan, Mbak harus
tangalkan sarung itu. Telanjang bulat Mbak,”
pintaku dengan nada yang kubuat serius.
Meski kaget dan hendak protes, tapi Susi
akhirnya nurut juga. Sarung yang dikenakannya
ditanggalkan dan dibiarkan luruh kelantai, dan ia
kembali berbaring di dipan kayu dengan mata
terpejam.
Sekarang aku yang jadi bingung dan blingsatan
melihat sesosok wanita bugil tanpa busana
dihadapanku. Tubuh Susi benar-benar
menggairahkan, rasanya bodoh betul si Anto,
suaminya itu, kok nggak bersyukur punya istri
semolek Susi ini.
Aku kembali menghampiri Susi dengan
kembang dan air di baskom. Perlahan kembali
kuusap-usapkan kembang itu dari wajah, leher,
dada, dan perut Susi. Usapan-usapan erotis di
bagian atas tubuh Susi membuat wanita itu
menggelinjang menahan geli. Napas Susi pun
mulai cepat memburu, biasanya dalam fase
seperti itu, seorang wanita sedang dilanda
gejolak yang mengarah birahi.
Usapanku mulai merambat turun ke arah paha,
tapi belum menuju selangkangan Susi.
“Nah ketemu Mbak, sabar ya. Sudah ketemu nih
tempat pasang susuknya,” kataku memberi
harapan.
Kembang di tanganku kembali kuusapkan di
daerah paha bagian dalam dan sesekali naik
menyentuh bibir vagina Susi. Gerakan
mengusap seperti itu kulakukan berulang ulang
di daerah yang sama, sampai akhirnya jarak
kedua kaki Susi mulai merenggang. Bukan main
gundukan kemaluan Susi, bulunya jarang dan
bibir vaginanya kelihatan masih ranum. Aku
sendiri kehilangan konsentrasi gara-gara melihat
pemandangan itu. Kini kembang ditanganku aku
buang dalam baskom, dan usapan di tubuh Susi
kugantikan dengan tangan kananku. Susi masih
terpejam dan napasnya semakin tak beraturan
ketika sentuhan tanganku menjelar di atas tubuh
bugilnya.
“Uhh Mas, dimana sih tempat pasang susuknya?
Saya nggak kuat begini terus,” Susi bertanya
dengan mata tetap terpejam.
“Iya Mbak, tenang ya, ini sudah ketemu,” kataku
sambil menghentikan sentuhan tangan tepat di
selangkangannya. Tanganku mulai memainkan
bibir vagina Susi dengan tempo yang teratur dan
ritme naik turun. Susi kelihatan sudah
terpengaruh, nafsunya gesekan tanganku di bibir
vaginanya diimbangi gerakan pinggulnya searah
gerakan tanganku.
“Ohh.. geli sekali Mas disitu,” Susi mulai
menceracau sendiri, napasnya semakin tak
beraturan.
Aku sendiri sudah tak bisa menahan nafsuku,
perlahan aku buka kedua kakinya semakin lebar
sehingga gundukan vaginanya terlihat makin
jelas. Cairan vagina Susi semakin banjir dan
tubuhnya mengejang kecil saat jemari tangan
kananku menjepit-jepit klitorisnya. Wajah Susi
benar-benar enak dilihat dalam keadaan seperti
itu, mata terpejam dan bibir saling memaggut
menahan geli dan nikmat gesekan jariku di
vaginanya.
“Oke Mbak sebentar lagi ya, sekarang Mbak
tahan ya saya akan pasang susuknya,” pintaku.
Jari tengahku kumasukkan perlahan ke liang
vagina Susi, lalu kutarik lagi keluar secara
perlahan pula. Itu kulakukan berkali-kali dan
terus-menerus.
“Engghh.. isshhtt.. ,” Susi melenguh, pinggulnya
semakin liar bergoyang dan berputar.
Susi sudah dalam kendaliku secara total, posisi
tanganku di vagina Susi kini kuganti dengan
jilatan lidahku di daerah vital Susi itu. Kami sudah
sama sama di atas dipan itu, hanya bedanya aku
masih lengkap berbusana, sedangkan Susi bugil
total. Reslueting celanaku kubuka, sejak tadi aku
memang sengaja tak pakai CD sehingga penisku
langsung meloncat keluar begitu kancing dan
reslueting celana kubuka.
“Usshh Mas.., saya nggak taahann lagi,” kaki Susi
menjepit kepalaku di selangkangannya,
pinggulnya naik turun mendesak-desak mulutku
yang menjilati klitorisnya.
Aku bangkit mengambil posisi tepat diatas
tubuhnya, bibir Susi yang menceracau langsung
kusumpal dengan bibirku. Saat ini Susi terbelalak
membuka matanya, tapi belum sempat bereaksi
apa-apa, penisku yang sudah tegang dan tepat di
pinggir bibir vagina Susi segera aku benamkan
keliang nikmat Susi yang sudah licin basah.
Bless..!
“Nghh duhh Mass, ohh..,” Susi mendesis saat
penisku menembus bibir vaginanya dan masuk
ke liang nikmatnya. Susi tak menolak kehadiran
penisku di vaginanya. Aku berhasil menyetubuhi
pasienku lagi.
“Tahan Mbak ya.. memang begini aturan
prosesnya. Yang penting rumah tangga Mbak
selamat ya,” ujarku sambil menggenjot
pinggulku di atas tubuh Susi. Tubuh Susi yang
cukup mungil bagiku yang jangkung membuat
aku dengan leluasa menggenjotnya dengan
posisi konvensional. Penisku berkali-kali
menghujam vagina Susi membuat wajah Susi
semakin terlihat ayu menahan kenikmatan dari
penisku.
Sampai belasan menit berlalu dengan posisi itu,
akhirnya kurasakan tubuh Susi mengejang
sesaat dan terasa pula denyutan kontraksi otot
vaginanya pada batang penisku yang masih
tegang.
“Ouhhss.. eehgghh,” Susi rupanya sudah
sampai klimaks, tubuhnya semakin tegang dan
pinggulnya mendesak naik seperti ingin terus
merasakan sensasi orgasmenya. Beberapa detik
kemudian, aku pun merasa aliran darahku
mengumpul di bagian pangkal penisku, dan
croot.. croot.., kumuntahkan spermaku di dalam
vagina Susi sementara tubuh tegangku
mendekap erat tubuh Susi yang sudah lunglai.
“Sudah selesai Mbak Sus.., sekarang suamimu
pasti tak akan jajan di luar lagi. Susuk pemikat
sukma itu sudah kutanam di rahimmu Mbak,”
kataku seraya meraihnya bangkit dari dipan
kayu.
Setelah berpakaian kami kembali duduk di kursi
dihalangi meja kerjaku.
“Maaf ya Mbak kalau prosesnya agak seronok
begitu,” aku melihat Susi agak kikuk setelah sadar
bahwa kami baru saja melakukan hubungan
seks yang hangat.
“Ehm nggak apa Mas, yang penting rumah
tangga saya utuh. Terima kasih Mas,” Susi lalu
bangkit dan menyodorkan uang pecahan seratus
ribu padaku.
“Oke Mbak, mudah-mudahan khasiat susuknya
manjur ya. Nanti kalau masih ada keluhan, Mbak
boleh konsultasi lagi kesini,” kataku. Susi
kemudian keluar kamar dan bersama Retno,
mereka pulang, meninggalkanku sendiri.
Entah susukku itu manjur atau kebetulan, sejak
saat itu Susi tak pernah lagi kembali. Hanya
sempat sekali dia kembali dan minta dipasang
susuk pelaris warung karena ia mau buka usaha
warung makan. Nah untuk kali itu meski
susuknya tak kupasang di vagina, tapi Susi
sendiri yang minta supaya dipasang seperti
susuk pertama, biar khasiatnya ampuh katanya.
Malam itu aku baru saja happy-happy dengan
Johan dan Aris, teman kampusku. Kami bertiga
menghabiskan belasan botol bir pilsener untuk
merayakan ultah Aris di rumah Aris. Aku pulang
dengan pandangan yang agak goyang, tapi
sampai juga dengan selamat di rumah
kontrakanku tepat jam 10 malam.
Sehabis mandi dan makan mie rebus, aku
menikmati tayangan sinetron humor di sebuah
saluran televisi di ruang depan. Rumah
kontrakanku memang kecil, tipe 21, hanya ada
kamar tidur, ruang praktekku, dan secuil ruang
depan atau ruang tamu. Sisanya ya.. dapur dan
kamar mandilah. Waktu itu jam sudah beranjak
ke angka 10 lewat 30 menit malam, tiba-tiba bel
pintu berbunyi.
“Permisi Mas Billy.., Mas.. permisi,” terdengar
suara anak lelaki dibalik luar pintu. Aku langsung
membukakan pintu dan melihat siapa yang
datang.
“Eh Maman, ada apa Man malam-malam
begini?,” tanyaku pada Maman, anak kelas tiga
SD yang termasuk tetanggaku.
“Anu Mas.., Mbak Ais pingsan. Saya disuruh
bapak minta tolong sama Mas Billy ngobatin
Mbak Ais,” kata Maman sambil memegangi
tanganku. Maman adalah anak Pak Budi, pegawai
negeri yang rumahnya hanya berselat delapan
rumah dari rumah kontrakanku. Sedangkan Ais
yang disebut Maman, ialah Aisyah, kakak
perempuan Maman yang sudah kelas dua SMU.
“Oke-oke.., Maman pulang duluan ya, nanti Mas
Billy susul,” pintaku padanya. Maman pulang,
sementara aku menyiapkan peralatanku mulai
minyak gosok, body lotion dan kembang, lalu
akupun menuju rumah Pak Budi.
“Ini lho Dik Billy, Ais mendadak pingsan habis
makan malam tadi. Saya jadi khawatir, mana
bapaknya lagi dinas luar kota lagi,” Ibu Budi
langsung menyampaikan ketakutannya waktu
aku datang.
“Lho kata Maman tadi bapak yang nyuruh saya
datang, kok dinas luar gimana sih Bu?,” aku jadi
sedikit bingung juga.
“Iya tadi waktu Ais pingsan, saya telepon
bapaknya dan dia yang suruh minta bantuan Dik
Billy,” jelas Ibu Budi.
“Oh gitu, sekarang Ais mana? Biar saya lihat
keadaannya,”
“Ada Dik di dalam kamarnya, ayo saya antar,”
Ibu Budi bangkit dan mengantarku kekamar Ais.
Istri Pak Budi masih terlihat seksi walau usianya
sudah masuk 37 tahun, apalagi malam itu hanya
pakai daster longdres yang tipis. Lekuk tubuh
dan kulitnya yang putih membayang jelas,
soalnya aku jalan tepat di belakangnya waktu
menuju kamar Ais.
Kulihat Ais terbaring lemas di kamarnya, setelah
kupegang dahinya kupastikan Ais hanya masuk
angin. Ditemani Bu Budi aku menyelesaikan
tugasku menyadarkan Ais dari pingsan, caranya
sangat mudah bagiku, dengan minyak gosok
kuurut beberapa urat dibelakang tengkuk Ais.
Tak lama setelah itu, Ais sadar dan membuka
matanya.
“Wah pintar sekali ya Dik Billy ini,” pujian Bu Budi
langsung mengalir begitu Ais bisa duduk ditepi
ranjangnya.
“Ah Ibu ini, saya hanya kebetulan punya
kelebihan kok. Nah sekarang Ais minum air
hangat yang banyak ya, biar punya tenaga,”
kataku mengajurkan. Wajah Ais hampir sama
cantiknya dengan Bu Budi, tapi bodynya masih
belum terbentuk dengan dada yang tampak
kecil.
“Makasih ya Mas, jadi ngerepotin,” Ais melempar
senyum manisnya padaku. Setelah itu aku
bangkit dan duduk di ruang tamu, sedangkan Bu
Budi ke dapur untuk membuatkan teh hangat
untuk Ais.
“Gimana Dik Billy? Apa penyakit Ais nggak
berbahaya toh,” Bu Budi bertanya dengan mimik
serius menghampiriku dan duduk dikursi tepat
dihadapanku, usai mengantar segelas teh ke
kamar Ais. Pertanyaan yang lucu, tapi kupikir
membawa cukup celah bagiku untuk
melancarkan aksi usilku.
“Sebenarnya ada yang mengkhawatirkan Bu..,”
sengaja tak kuteruskan kalimatku supaya Bu Budi
bingung dan panik.
“Menghawatirkan bagaimana toh? Tolong dong
disembuhkan sekalian biar nggak nakutin gitu
lo,” benar dugaanku, Bu Budi langsung panik
dan mengharap jawabanku. Aku langsung
pasang wajah serius dan mendekatkan wajahku
dengan cara sedikit menunduk di meja
penghalang duduk kami berdua. Melihat itu Bu
Budi juga segera merunduk mendekati wajahku
untuk mendengar penjelasanku.
“Begini Bu, pengamatan batin saya, Ais bukan
hanya masuk angin biasa tapi ada orang iseng
yang coba mengguna-gunai dia. Mungkin
pacarnya, atau mungkin lelaki yang cintanya
ditolak Ais, Bu,” kataku.
“Ah masak sih Dik? Terus bagaimana dong,” Bu
Budi semakin merunduk, sehingga aku bisa
melihat bongkahan pangkal susunya yang masih
kencang dibalik daster tipisnya.
“Ibu tenang saja, saya pasti bantu. Tapi
syaratnya agak berat Bu, saya harus meruwat
beberapa bagian tubuh Ais secara langsung,”
aku menjelaskan.
“Meruwat gimana sih,” Bu Budi semakin
bingung.
“Maaf ya Bu, tapi saya harus mengeluarkan
guna-guna dari bagian vital Ais, payudara dan
vaginanya. Tapi saya juga nggak tega, nanti dia
malu lagi,” wajahku seperti orang yang sedang
berpikir.
“Apa ngak ada cara lain Dik, selain itu. Ais pasti
nggak mau loh,” jawab Bu Budi bermimik
bingung.
Aku tak langsung menjawab pertanyaan Bu
Budi. Jam kulihat sudah menunjuk angka 11.30
malam didinding ruang tamu.
“Ada Bu cara lain, namanya transformasi. Saya
bisa melakukan ruwat itu dengan media tubuh
lain yang golongan darahnya sama dengan Ais.
Dik Maman golongan darahnya apa Bu?” tanyaku
memancing.
“Wah.., sayang sekali Maman darahnya B. Tapi
kalau saya bisa nggak Dik? Saya juga B sama
kayak Ais,” pancinganku rupanya membawa
hasil. Setelah itu, aku mengarahkan dan
menjelaskan bagaimana proses ruwat yang
nantinya akan kulakukan pada Bu Budi. Dengan
kepala manggut-manggut, Bu Budi akhirnya
paham dengan penjelasanku.
“Sebenarnya risih juga sih, tapi gimana lagi ya
demi Ais? Iya deh Dik, terserah Dik Billy yang
penting Ais sembuh total,” katanya pasrah.
Waktu itu Ais dan Maman sudah tidur, dan Bu
Budi bersamaku beranjak ke kamar tidurnya
untuk melakukan ruwatan itu. Sampai di kamar
itu, Bu Budi langsung berbaring di ranjang dan
aku duduk di tepi ranjang sebelah kiri.
“Sekarang Ibu konsentrasi dan tujukan pikiran ke
Ais ya,”
“Ehm.. iya Dik, saya coba,” Bu Budi yang
terpejam ternyata semakin cantik, wajahnya
mirip artis Nani Wijaya di masa muda dulu.
Kutelusur pandanganku dari wajah hingga ujung
kaki Bu Budi, bodynya pun masih sangat bagus
mirip gadis 24 tahunan dengan buah dada yang
lumayan dan kulit mulus betisnya yang putih.
Aku mulai beraksi, tanganku mulai mengusap-
usap kening, pipi, dan leher Bu Budi, itu
kulakukan sekitar lima menit lamanya.
“Sekarang buka matanya Bu,” pintaku segera
diikuti Bu Budi.
“Maaf ya Bu, saya harus teruskan prosesnya.
Mungkin Ibu agak rikuh, tapi saya sudah sering
melakukan seperti ini kok, jadi Ibu nggak usah
khawatir ya, soalnya memang begitu caranya,”
“Duh gimana ya Dik..? tapi nggak usah cerita ke
bapak ya kalau prosesnya seperti ini,” Bu Budi
nampak bersemu rikuh, mungkin dirinya mulai
berpikir sesaat lagi lelaki yang bukan suaminya
ini akan melihat seluruh lekuk tubuh dan bagian
vital yang selama ini hanya untuk Pak Budi.
“Iya Bu, itu sudah kewajiban saya kok,” aku lalu
meminta Bu Budi menanggalkan Bra dan Cd
nya, sedangkan daster tipisnya sengaja
kusisakan untuk menutup rikuhnya. Bu Budi
kembali terpejam, dan perlahan aku membuka
dua kancing daster bagian atasnya dan
menurunkan daster itu sebatas perut,
membiarkan buah dada Bu Budi yang syuur itu
bebas keluar. Ternyata benar dugaanku tubuh
Bu Budi memang sangat mulus dan terawat,
putih dan tak bercacat dengan postur
proporsional.
“Maaf ya Bu,” aku langsung mengusap sekitar
buah dada Bu Budi dengan usapan tangan
searah jarum jam. Bu Budi tak bersuara, tapi
keningnya sesekali berkerut ditengah usapan-
usapan lembut tangan kananku didadanya.
Usapan kunaikan menjadi remasan kecil dan
mulai menyentuh puting susunya, kadang
kucubit kecil puting susu itu membuat Bu Budi
menggelinjang menahan geli, tapi tetap tak
bersuara.
Setelah mengusapi buah dadanya, aku mulai
mengusap bagian betis Bu Budi dan terus naik ke
paha hingga daster bagian bawah tersingkap
naik dan berkumpul ditengah perutnya. Kini,
pemandangan dihadapanku benar-benar
menggoda kejantananku. Bu Budi juga ternyata
memiliki vagina yang indah dihiasi bulu tebal
yang dicukur rapi 2 cm panjangnya.
“Sekarang Ibu boleh buka mata,” kataku.
“Terus apa lagi Dik,” tanya Bu Budi dengan raut
memerah bertambah rikuh padaku.
“Maaf Bu, sekarang tahap utamanya, saya harus
menyedot guna-guna di tubuh Ais dengan
media tubuh Ibu. Ibu bisa tahan kan? Paling
prosesnya hanya makan waktu 15 menit. Tapi
tahap ini Ibu ngak boleh tutup mata,” jawabku
meyakinkannya.
“Iya deh Dik.. tapi tolong cepetan ya, saya rikuh
nih,” Bu Budi menjawab pasrah.
Dengan menatap wajah Bu Budi yang bersemu
merah aku mulai mendaratkan bibirku diputing
susu kanan Bu Budi, susu terdekat pada posisi
dudukku disisi kiri ranjang. Putting yang ranum
kemerahan itu kujilati perlahan lalu kuhisap-hisap
beraturan.
“Hsst uuhh.. Dik,” suara tertahan Bu Budi
terdengar waktu hisapanku agak kuat diputing
susunya. Putting susu kiri pun jadi sasaran hisap
dan jilat selanjutnya, sementara kedua tanganku
memeganggi susu seksi Bu Budi sambil terus
menghisap dan menjilat bergantian susu itu.
“Uhh.. gelii Dik..,” Bu Budi mengelinjang saat
isapan dan jilatan dikedua susunya kupercepat
ritmenya, tangannya meremasi sprei ranjang.
“Tahan sebentar lagi ya Bu, hampir selesai
dibagian ini. Kalau tidak tuntas nanti Ais nggak
sembuh total,” kataku menghIburnya. Aku
mengambil dua tangan Bu Budi dan
meletakkannya agar mendekap bahu dan
leherku, Bu Budi menurut, dan aktifitasku
kulanjutkan lagi menjilat dan menghisap
susunya.
Napas Bu Budi mulai tersengal dan remasan
tangannya dibahuku semakin lama semakin kuat
menahan geli yang sangat disusunya.
“Mffhh oouhh..,” Bu Budi mulai menggeliat-geliat
mengikuti irama jilatan di susunya. Kupandang
wajahnya, ternyata sorot matanya mulai redup
khas wanita yang dilanda birahi. Tak mau hilang
kesempatan, tangan kananku segera merayap
menjelajahi perut dan pahanya. Bu Budi semakin
terpojok, tangan kananku kini sudah mulai
mengusap usap paha bagian dalam Bu Budi,
kakinya merenggang dengan posisi lutut kaki
kanan dinaikan sehingga tanganku lebih leluasa
menggerayangi paha bagian dalam itu. Sesekali
jemariku menyentuh bibir vagina Bu Budi, dari
situ aku tahu Bu Budi sudah dirasuki birahi yang
sangat, kurasakan tanganku menyentuh cairan
kental yang sudah membasahi vaginanya.
“Oke Bu, sudah selesai di bagian dada. Sekarang
tahap utama kedua, saya harus menghisap dan
mengeluarkan guna-guna di tubuh Ais lewat
kemaluan Ibu. Ibu tahan ya,” Kulihat Bu Budi
sudah pasrah benar, dengan pandangan sayu ia
hanya bisa mengangguk. Aku pun segera beralih
posisi dan jongkok tepat disela kedua kakinya
yang sudah tertekuk naik. Vagina Bu Budi
memang sudah basah, tapi dua bibirnya masih
sangat ranum dan terlihat kencang. Setelah
membersihkan vaginanya dengan ujung sprei
yang berhasil kuraih, aku lalu mulai menjilati
vaginanya.
“Aauuhh.. iihh.. geelii Dik, saya nggak tahan,” Bu
Budi pekik tertahan dan tangannya meremasi
kepalaku di selangkangannya.
“Tenang dulu Bu, saya harus cari posisi guna-
gunanya. Agak geli Bu ya,” aktifitas sengaja
kuhentikan dan mengajak Bu Budi bicara.
“Ehhmm he-eh Dik, geli sekali, soalnya saya
nggak pernah dijilatin gitu itunya,” Bu Budi bicara
dengan suara serak dan napas tersengal, aku
lanjutkan lagi aktifitasku. Aku yakin ini
pengalaman baru buatnya karena Pak Budi tak
pernah melakukan foreplay semacam ini setiap
kali ngeseks dengan istrinya ini. Cairan asin yang
keluar dari vagina Bu Budi semakin banyak, dan
kini pinggulnya mulai bergerak mengikuti irama
jilatanku. Sambil melakukan itu kuintip wajah Bu
Budi yang sudah total birahi, kepalanya
bergerak-gerak tak beraturan setiap kali jilatan
dan isapan kusasarkan di klitoris vaginanya
bersamaan rintihan yang semakin tak karuan
dari bibirnya.
Penisku sudah berdiri tegak, apalagi melihat
gerakan dan mendengar rintihan Bu Budi yang
kian erotis. Sambil aktifitas kubuka celanaku
sebatas paha sehingga penisku yang berukuran
lumayan panjang dan besar meloncat
kegirangan.
“Bu.., guna-gunanya hampir keluar, tapi harus
dicungkil dari dalam vagina dengan jari atau alat
lain,” aku hentikan jilatanku, dengan segera
menaikkan posisi tubuhku. Posisiku seolah
menindih tubuhnya tetapi tubuh kami tak
bersentuhan karena kutopang dengan dua
tanganku.
“Bagaimana Bu?,” sebelum Bu Budi bereaksi aku
bertanya dengan wajah sudah demikian dekat
dengan wajahnya.
“Terserah Dik, lakukanlah.. mffphh,” diluar
dugaanku, Bu Budi ternyata agresif menyambar
bibirku dengan kuluman yang penuh nafsu.
Topangan tanganku terlipat sehingga tubuh kami
langsung saling tindih, dalam posisi itu
kuusahakan celanaku lepas total dari kaki, dan
berhasil. Kini penisku yang mengacung tepat
berada dibelahan bibir vagina Bu Budi. Ciuman
bibir kami masih berpagut sedangkan pinggul Bu
Budi mulai mendesak-desak naik mencari batang
kenikmatanku.
Sengaja keadaan itu kugantung, aku ingin ia
menrengek dan meminta agar aku
menyetubuhinya.
“Mnffh.. uuhhm, ayo Dik cungkil guna-guna
itu..,” Bu Budi melepas pagutan bibirnya dan
merengek padaku.
“Maaf Bu.., tapi apa Ibu nggak marah nih,”
gurauku.
“Ayoo Dik Billy, udah kepalang tanggung
lagipula.. oughh.. asstt,” belum selesai bicara, Bu
Budi langsung kuserang dengan ciuman di bibir,
leher dan susu bergantian, sementara ujung
penisku yang sudah terjepit sebagian di bibir
vaginanya kutekan masuk sampai amblas.
Bleess.. jleepp.. jleepp. Bu Budi menyambut
penisku dengan goyangan pinggulnya yang
erotis, baru kali ini kurasa vagina wanita yang
berkontraksi sebelum ia orgasme, orang bilang
empot-empot.
“Ouuhh Dik.. aahh, eenaak Dik aeehh..,” Bu Budi
menceracau dan tangannya mengoyak-koyak
baju yang masih kukenakan. Ritme pompa
penisku kutingkatkan cepat dan teratur dengan
dua tangan menopang tubuh bagian atasku. Bu
Budi semakin hilang kendali, kepalanya bergerak
kanan-kiri, gyang pinggulnya semakin liar
seirama rintihannya yang makin kacau pula.
15 belas menit berlalu, dan kurasa Bu Budi sudah
hampir tiba pada puncaknya.
“Aaahh Dik, saya mau keluar Dik..,” Bu Budi
bergerak semakin cepat dibawah kendali
penisku. Sebelum dia mencapai orgasmenya,
penisku secepat mungkin kutarik keluar sekaligus
menjauhkan diriku dari tubuhnya.
“Ouhhgghh.. ohh, kenapa berhenti Dik? Ayo
dong teruskan, saya hampir sampai,” Bu Budi
merengek dengan wajah yang masih penuh
birahi.
“Maaf Bu, tapi sudah selesai ruwatnya. Guna
guna di tubuh Ais sudah keluar melalui ruwat
tadi, kan kita melakukannya untuk mengobati
Ais,” kataku padanya.
Bu Budi tersentak sadar, mungkin dia kecewa
juga telah hanyut dalam birahi tadi. Tapi tak lama
kemudian meluncur cerita dari bibirnya yang
tipis, katanya Pak Budi tak pernah memberikan
kepuasan seksual yang maksimal, meskipun
hubungan seks mereka lakukan dua hari sekali.
“Bu.. apa Ibu mau kita lanjutkan lagi?,” aku
mengusap lembut dahi Bu Budi.
“Kalau Dik Billy nggak sudi, ya sudah nggak apa
kok,” Bu Budi menampakkan raut kecewa.
“Bukan begitu Bu. Saya mau lanjutkan asal kita
berdua telanjang bulat, dan tolong Ibu
bayangkan bahwa saya adalah Pak Budi, supaya
nggak rikuh Bu,” kataku seraya melepas luruh
dasternya yang terkumpul di bagian perut, aku
pun menanggalkan bajuku.
Kami kembali saling pagut, dan saling tindih.
Penisku langung kuhujamkan ke vaginanya dan
kami kembali larut dalam permainan seks tengah
malam. Sampai akhirnya,
“Ahh oohh.. ngghh ahh,” Bu Budi mengerang
kuat mengigit bahuku saat serangan orgasme
tiba pada vaginanya. Kontraksi vaginanya terasa
jelas menjepit-jepit penisku yang masih aktif.
Genjotan kunaikkan lebih kuat dan cepat,
membuat Bu Budi benar benar tuntas orgasme.
Tak lama berselang, aku pun tiba pada puncak
nikmatku.
“Ihh.. ohh sayang..,” tubuhku tegang dan
penisku terhentak hentak berkali kali dalam
vagina Bu Budi sambil menyemburkan sperma.
Aku lunglai dan mengambil tempat disisi kiri Bu
Budi, kami kelelahan tanpa sadar saling
berpelukan dan akhirnya lelap tertidur.
Waktu terjaga jam sudah menunjuk angka
07.30 Wita, suara di luar kamar Bu Budi
terdengar menandakan Maman dan Ais sudah
bangun. Aku dan Bu Budi segera merapikan diri
dan mengenakan pakaian kami, lalu keluar
menuju ruang depan.
“Sudah baikkan rasanya Dik Ais?,” aku langsung
bertanya pada Ais yang memandang heran ke
arah kami di ruang depan. Gawat pikirku, pasti
Ais mengetahui apa yang terjadi dan akan
melaporkannya pada Pak Budi nantinya.
“Ohh, ini lo sayang, Mas Billy ngobatin kamu
dengan ruwat khusus, jadi harus nginap di sini
untuk begadang semalam suntuk. Ibu
menemani ngobrol,” Bu Budi seakan tahu sorot
curiga di mata Ais.
“Ehmm, maaf ya Mas Billy, Ais jadi ngerepotin,”
untunglah Ais bisa dikelabui, kalau tidak berabe
juga dong. Setelah basa-basi sebentar, aku lalu
pulang ke rumah kontrakanku dan siapkan diri ke
kampus lagi pagi itu. Entah kapan aku bisa
menyetubuhi wanita semacam Bu Budi lagi.
Aku masih di kota M dan masih kuliah. Pagi ini
aku kedatangan pasangan suami istri, Toto dan
Juminah, mereka datang dari kampung yang
letaknya sekitar 25 Km dari rumah kontrakanku.
Katanya sih mereka tahu aku bisa ngobatin
penyakit secara supranatural dari tetangga
mereka, Pardi. Aku sendiri lupa apa pernah ya
aku ketemu orang namanya Pardi atau tidak.
Singkatnya, pasangan Toto yang sopir truk antar
pulau dan Juminah yang pembantu rumah
tangga itu datang padaku dengan keluhan pingin
cepat dapat anak.
“Benar lo Mas, berapapun biayanya saya
usahakan asal kami bisa punya momongan.
Wong kami ini sudah tujuh tahun kawin lo Mas,”
Toto memohon mohon padaku diruang tamu,
sementara Juminah hanya ikut manggut-
manggut setiap suaminya bicara.
Toto adalah pria bertubuh ceking dan usianya
sekitar 40 tahunan, sedangkan Juminah walau
agak kampungan dan lusuh tapi terlihat jauh
lebih muda dengan usia sekitar 29 tahunan.
Body Juminah yang agak gemuk terlihat serasi
dengan tinggi tubuh yang lebih tinggi 5 cm dari
Toto.
“Emangnya seminggu berapa kali kalian
melakukan hubungan badan,” setelah puas
menilai penampilan dua tamuku itu, aku pun
mulai meluncurkan pertanyaan dengan mimik
serius.
“Eh.. Anu Mas. Kadang-kadang dua kali
seminggu, atau malah kadang dua minggu
sekali, soalnya saya ‘kan sopir truk antar kota
Mas. Kadang saya nginap diluar kota, jadi nggak
sempat gituan,” Toto menjawab malu-malu,
Juminah malah tertunduk habis.
“Oh.. Begitu toh. Pantas kalian susah dapat
momongan, wong jarang kumpul dan kerja
berat terus sih,” aku berujar sambil menenggak
kopi pagiku.
“Oke sekarang kalian tenang saja, biar aku bantu
masalah kalian. Nah sekarang kalian masuk ke
kamar itu dan tunggu aku ya,” pintaku pada
tamuku sambil menunjuk kamar praktikku.
Beberapa menit setelah mereka masuk, aku
langsung nyusul, di kamar itu aku duduk di
kursiku sementara mereka di kursi tepat depanku
yang dihalangi meja kerjaku.
“Begini Mas Toto, ini kan untuk kebaikan kalian
berdua jadi kumohon jangan rikuh dan risih
dengan ruwatan pengobatan yang akan
kulakukan ya, bagaimana? bisa apa nggak?,”
tanyaku.
“Oh.. Monggo saja Mas, kami memang siap apa
saja untuk dapat anak kok,” Toto menjawab.
“He-eh Mas kami siap kok,” Juminah menimpali.
“Kalau begitu sekarang kalian buka baju dan ganti
pakai sarung ini ya, terus tiduran di dipan itu,”
kuberi dua lembar sarung bermotif bunga dan
menunjuk dipan di kamar praktikku. Pasangan
dari kampung itu nurut saja dan sekejap
kemudian sudah berbaring berdampingan di
dipan, hanya pakai sarung tok.
Aku berdiri mendekati pasangan yang sudah
pasrah itu, mereka kuperciki air kembang sambil
merapal mantra seadanya dibibir.
“Sekarang tolong kalian bersetubuh ya, iya
bersetubuh, main, ngeseks..,” perintahku
disambut keheranan keduanya.
Tapi mereka tak punya pilihan, toh mereka butuh
bantuanku. Toto langsung saja membuka
sarungnya dan mempreteli sarung Juminah
hingga keduanya bugil tulen. Bibir Toto yang
agak monyong langsung nyosor menciumi
sekujur tubuh Juminah, sedangkan tangannya
mulai gerilya di bagian vagina istrinya itu.
Wah, pemanasan seks pasangan ini rupanya
kurang ahli, pantas saja sudah dapat anak. Lima
menit kemudian Toto main tancap saja, padahal
penisnya yang imut belum tegak benar sehingga
kelihatan agak susah menembus vagina Juminah
yang masih kering belum terpacu birahi.
“Duuhh belum Mas, susah sekali masuknya,”
Juminah menggerutu tapi tetap aku dengar.
Toto tak peduli dan terus menggenjot pantatnya,
menggesek gesek penisnya yang masih layu ke
permukaan vagina Juminah dengan napas
memburu, nafsu benget.
“Ohh yess.. Ahh,” Toto sudah tamat sebelum
penisnya belum masuk utuh ke vagina Juminah,
ia langsung KO dan menggelepar disisi istrinya.
“Wah.. Wah.., Mas Toto ini gimana sih.
Bagaimana mau punya anak kalau sperma
sampeyan nggak nyiram rahim Mbak Jum.
Payah sampeyan ini Mas,” kataku memberi
komentar.
Toto dan Juminah kembali duduk dihadapanku
dihalangi meja, lalu kujelaskan bagaimana proses
pembuahan yang dibutuhkan rahim wanita
sebelum akhirnya hamil dan melahirkan.
“Mas Toto kulihat burungnya kurang kuat ya,
kok baru gesek-gesek sudah KO. Tuh Mbak Jum
belum rasain apa-apa. Iya kan Mbak?,” Juminah
tertunduk malu mendengar pertanyaanku, Toto
malah garuk-garuk kepala, mereka masih pakai
sarung tok.
“Terus gimana caranya Mas supaya aku dapat
momongan toh,” Toto bertanya.
“Caranya ya perbaiki mutu seks kalian itu,
terutama Mas Toto, burungnya harus kuat
sehingga nyembur pejuhnya di dalam
vaginanya Mbak Jum, gitu loh. Selain itu nanti
kuberi ramuan,” kataku menjelaskan.
“Anu Mas, punya Mas Toto memang nggak bisa
lebih dari itu kok, padahal sudah minum banyak
jamu, tapi begitu terus,” Juminah menyelaku.
“Ya mau bagaimana lagi wong memang begitu,”
Toto protes.
“Oke-oke, supaya Mas Toto lebih sip, gimana
kalau aku contohkan cara main yang tepat, biar
pas dan cepat dapat anak,” aku menawarkan.
Mereka saling pandang kemudian
memandangku lagi.
“Terserah bagaimana baiknya Mas,” Toto dan
Juminah menjawab hampir serentak.
“Oke sekarang Mas Toto duduk disini dan Mbak
Jum silahkan tiduran lagi di dipan,” perintahku.
Toto duduk dikursi tadi, Juminah sudah
berbaring berbalut sarung sebatas dada, aku
mendekati dan mencipratkan air kembang ke
sekujur tubuhnya.
“Begini Mas Toto, perhatikan cara menaikan
birahi istri pada langkah pertama,” kataku seraya
menurunkan kain sarung Juminah sampai ke
perut. Aku duduk disamping Juminah yang
tiduran, lalu kuraba-raba dua gundukan di dada
Juminah, meski sudah tujuh tahun kawin,
rupanya susu 36B Juminah masih kencang
kayak perawan.
“Ihhss geli Mas.. Aku malu ah..,” Juminah
menepis tanganku, tapi kemudian membiarkan
lagi tangan itu beraksi.
“Mas jangan cemburu ya ini untuk kebaikan
sampeyan juga kan,” kulanjutkan aktifitasku dan
Toto hanya manggut-manggut memberi restu.
Kini bibirku mulai aktif menjilati susu Juminah
bergantian kanan dan kiri. Hisapan dan jilatan
terus kulakukan sampai lima menit lamanya.
“Hsshh aauuhh.. Emmffhh maasshh.. Aahkk,”
Juminah mendesis dan menggeliat-geliat karena
hisapanku di susunya, tangannya malah sudah
mendekap kepalaku seperti enggan kalau kulepas
hisapan itu.
“Gimana Mbak Jum? enak?,”
“Ehmm iiyah Mas,” Juminah menatapku sayu,
wajahnya cukup manis kalau begitu, rasanya
mirip artis Denada Tambunan, body gemuknya
pun mirip waktu Denada belum diet (Sorry ya
kalau Dena ikut baca, abis emang mirip sih).
“Nah Mas Toto sekarang lihat nih tahap kedua
merangsang birahi istri,” aku mengambil posisi
jongkok tepat diantara dua paha Juminah yang
ngangkang. Vagina Juminah sepintas kelihatan
jorok, apalagi bulunya hitam, panjang,
sembrawutan lagi. Kuusap pelan bagian sensitif
Juminah dari bawah ke atas dan terus begitu
beberapa kali.
“Auuhh mashh geliih ahhss,” pinggul Juminah
naik turun mengikuti tanganku yang mengusap
vaginanya.
Saat cairan kental mulai membasahi bagian itu,
aku langsung merunduk dan menciumi bibir
vagina Juminah, aroma vagina cewek kampung
memang asyik dan alami. Kugunakan lidahku
menjilati bibir dan klitoris vagina Juminah,
membuat Juminah kalang-kabut dan
menggelinjang tak karuan. Kuintip mulut
Juminah sedikit terbuka dan merintih-rintih,
rambutku dijambak-jambak Juminah. Sementara
Toto serius melihat bagaimana istrinya sedang
kubuat birahi tinggi. Gerakan tubuh Juminah
yang agak gemuk membuat dipan bergerenyit,
kreyat-kreyot, tapi makin asyik. Aku sendiri
mulai merasa birahi, penisku mulai tegang dan
mendesak CD yang kupakai. Hampir 10 menit
kujilati vagina Juminah, sampai kurasakan dua
pahanya keras menjepit kepalaku dan jambakan
pada rambutku makin kencang.
“Aahhss aahhdduhh.. Iihhss.. Mmmff..,”
Juminah sampai pada orgasmenya, gerak
pinggulnya menghentak-hentak kepalaku yang
dijepit pahanya, lalu jepitan itu lunglai, Juminah
lemas.
“Gimana Mbak Jum, ringan rasanya?” aku
bertanya sambil melepaskan pakaianku sampai
bugil juga.
“Iyaah mass agak ringan, enak sekali rasanya,”
Juminah masih menatapku dengan birahinya.
“Nah Mas Toto, sekarang lihat tahap terakhir ya.
Bagaimana caranya masukkan penis ke vagina
supaya cepat hamil,” aku berkata pada Toto
yang tetap serius memperhatikan.
Juminah terbaring pasrah dengan dua paha
mengangkang lebar, vaginanya yang kuyup
jelas terlihat karena bulu lebatnya lusuh oleh
cairan vaginanya. Penisku yang sudah maksimal
berdiri kusisipkan di bibir vaginanya dan tubuhku
mulai menindihnya, susu Juminah kembali jadi
sasaran jilat dan hisapku.
“Sabar ya Mbak Jum, pasti tak buat kamu
ketagihan,” bisikku di telinga Juminah.
“Uhh mass, teruskan apa maumu mass..,”
Juminah tak sabar menunggu penisku
menembus vaginanya. Bless.. Jleepp, penis
kudorong masuk menembus vagina Juminah
yang masih terasa rapat dan nikmat, Juminah
merintih tertahan merasakan benda yang masuk
tak seperti yang selama ini dirasakan dari Toto.
“Eh Mas Toto, kok bengong. Nah ini Mas caranya
yang betul, tuh lihat burungku masuk utuh ke
vaginanya Mbak Jum,” aku memberi tahu Toto,
dia manggut-manggut saja dan melongo
melihat istrinya kelepar-keleper kubuat.
“Ahhyoo mass.. Aku ngghhaakk kuaatt, ohh..,”
pinggul Juminah terus naik mendesak penisku
supaya bergerak di vaginanya. Kupeluk tubuh
gemuk Juminah, kugenjot penisku, kepala
Juminah bergerak tak beraturan, rintih dan
desahnya makin menjadi-jadi.
“Enak Mbak Jum.. Hehh, enaak ndaak mBHaak,”
“Iyahh oosshh.. Eenhhaak, teruusshh mashh
aauhh,”
“Mmmffhh ehmnnff,” bibir Juminah yang agak
tebal tapi seksi kulumat habis, aku jadi nafsu
banget dengan bau keringat ketiak Juminah yang
khas kampung itu. Kugenjot makin kuat dan
makin teratur, Juminah pontang-panting
mengimbangi gerakanku dengan menggoyang
pinggulnya.
Permainan kami cukup panjang tapi Juminah
belum kelihatan menyerah, posisi segera
kuubah, kubalik tubuh kami sehingga Juminah
yang jadi menindih tubuhku.
“Mas Toto, kalau lagi main, burung sampean
nggak bisa masuk, gini cara yang tepat supaya
imbang,” kataku, Toto masih saja manggut-
manggut, terpesona melihat bagaimana istrinya
yang kini menggenjot aku.
“Duuhh.. Iisstthh, kokhh tambah ennahkk
begini.. Masshh.. Auhh,” Juminah kini bagai joki
diatas penisku, tubuhnya yang gemuk dan
lemak pahanya membuat kenikmatan yang asyik
di penisku, aku menarik tubuhnya sampai dia
merunduk dan menyasar lagi susu ranumnya
dengan isapan lidahku.
“Ayoo Mbaak Jum, ambill nikmatnya Mbak..,”
“Ahh.. Enghh.. Mmmffhh, ohh iyakhh mashh..
Akuu enaakkhh.. Mahhss.. Ahhss,” goyang
pinggul Juminah makin menekan penisku, makin
lama gerakannya makin kuat. Wajah Juminah
semakin ayu dalam keadaan seperti itu, mata
sedikit terpejam, bibir terbuka mendesis,
kepalanya gerak kanan kiri diatas tubuhku.
Kurasa vaginanya makin membasah, ini saat
yang tepat meghajarnya hingga puncak pikirku.
Sekejap aku ubah posisi kami lagi, dengan
berputar kekiri kini tubuhku kembali diatas tubuh
Juminah, tanpa memberi kesempatan padanya,
aku terus menggenjot penisku menghujam-
hujam vaginanya.
“Aaahh.. Akuu piipisshh mashh.. Ouhh..
Emhhff.. Ohhss..,” tubuh Juminah kejang,
dinding vaginanya berkontraksi berkali-kali dalam
genjotan penisku, sampai akhirnya kepala
Juminah lunglai, menandakan orgasmenya
sudah utuh dan tuntas. Toto terpana melihat raut
puas istrinya, sementara aku masih teratur
menggenjot tubuh Juminah.
“Ahh Mas To.. Ini puncak namanya
aauhhkkhh..,” kurasa cairan spermaku tak
mungkin kubendung lagi, kutarik penisku dari
liang nikmat Juminah, dan sekejap semburan
spermaku tumpah membasahi perut Juminah.
“Uhh.., itu namanya pejuh Mas, dan itu harus
ditumpahkan didalam vagina Mbak Jum, supaya
hamil. Kalau Mas To tumpahnya diluar terus
kapan hamilnya Mbak Jum,” aku bangkit
menyuruh Toto melihat sperma kentalku diperut
Juminah.
“Lohh kok nggak ditumpahin didalam saja Mas,
biar dia hamil,” Toto benar-benar blo’on.
“Wah Mas ini gimana. Kalau spermaku masuk ke
vagina Mbak Jum dan Mbak Jum hamil, berarti
itu anak ya anakku jadinya, bukan anak
sampeyan, gimana sih,” cerocosku sambil
kembali mengenakan pakaian, mereka juga
kembali pakai pakaian masing-masing.
Setelah itu, kami basa-basi sejenak, dan
kubuatkan ramuan kuat untuk Toto supaya
greng kalau tempur sama Juminah. Mereka
kemudian pulang dan menyisipkan uang
pecahan ribuan yang jumlahnya sampai lima
puluh lembar.
Oh ya, sejak itu, kira-kira sebulan kemudian
pasangan itu datang lagi dan minta diajari lagi
begituan. Aku kembali senang bisa bersetubuh
dengan Juminah yang sintal dan montok, dan
Toto senang bisa belajar memuaskan istrinya.
Kabar terakhir yang kudengar, tiga bulan
kemudian Juminah hamil. Entah itu anak siapa,
soalnya waktu datang kedua kali aku tumpahkan
spermaku dalam vagina Juminah, habis nggak
tahan sama rintihannya itu. Tapi aku tetap
berharap anak itu anak Toto, hasil sperma Toto.
Sejak dikabari aku kalau Juminah hamil, mereka
tak lagi datang padaku, karena kusarankan
supaya mereka kontrol ke puskesmas saja untuk
kehamilan Juminah.


Adult | GO HOME | Exit
1/2671
U-ON

inc Powered by Xtgem.com